Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 April 2022. Kebijakan ini membawa angin segar akan terciptanya perlindungan dari kekerasan seksual di mana saja, tak terkecuali di tempat kerja.

UU TPKS menjadi penguat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Dengan begitu, bentuk pelecehan seksual yang bisa dijangkau dan sudah ada hukum pidananya semakin detail.

Masalah kekerasan seksual di tempat kerja patut menjadi perhatian. Pasalnya, sudah banyak korbannya. Sepanjang 2021, berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, ada 108 kasus kekerasan di dunia kerja.

Kekerasan yang terjadi mencakup pelanggaran hak-hak dasar, seperti hak perlindungan kerja yang layak dan hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Ada delapan kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang dilaporkan ke Komnas Perempuan yang meliputi pencabulan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Kasus-kasus ini terjadi baik di perusahaan swasta maupun lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.

Pokok permasalahan penting yang diyakini menyebabkan terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja—bahkan terjadi berulang–adalah karena kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dilihat sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan sistem kerja di sebuah lembaga atau organisasi. Artinya, masih dianggap sebagai permasalahan pribadi.

Oleh karena itu, seringkali belum ada mekanisme internal perusahaan melalui prosedur operasi standar (SOP) yang terintegrasi dalam kebijakan lembaga sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di tempat kerja.

Belum lagi, penanaman pengetahuan dan kesadaran pekerja maupun serikat pekerja tentang kekerasan seksual masih kurang.

Padahal, dampak kekerasan seksual tak hanya psikis dan fisik, melainkan juga penurunan produktivitas kerja yang merugikan perusahaan maupun pribadi.

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap lembaga, perusahaan, maupun organisasi memiliki aturan anti-kekerasan seksual di tempat kerja yang jelas.

Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya aturan anti-kekerasan seksual di tempat kerja dibuat? Dan bagaimana cara melaporkan kasus kekerasan seksual di tempat kerja?

Berikut rangkuman yang bisa membantu lembaga, perusahaan, maupun organisasi dalam membuat aturan anti-kekerasan seksual serta bagi para pekerja untuk menemukan solusi yang tepat kala mengalami kekerasan seksual.

Peran perusahaan dalam mengatur pencegahan hingga pemulihan

Lembaga, perusahaan, atau organisasi pasti memiliki aturan dan kode etik untuk para karyawannya. Aturan itu mencakup bagaimana pekerja berhubungan dan menghargai rekan kerja tanpa memandang gender dan latar belakang. Oleh sebab itu, kekerasan seksual di tempat kerja sejatinya sudah melanggar kode etik perusahaan.

Masalahnya, banyak lembaga, perusahaan, atau organisasi yang belum mempunyai aturan khusus terkait pencegahan kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Ada perusahaan yang sudah memiliki aturan yang terpisah terkait kekerasan seksual, tapi kadang belum diturunkan dalam SOP yang lebih detail. Hal ini tidak jarang membuat karyawan kebingungan jika terjadi kasus kekerasan seksual.

“Jadi ada dua hal secara garis besar yang perlu dimiliki perusahaan. Pertama dari sisi kebijakannya mengenai kekerasan seksual. Yang berikutnya adalah turunan dari kebijakan. Turunan kebijakan ini perlu mencakup lima hal, yakni pencegahan, pelaporan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan,” ujar Direktur Yayasan Pulih Yosephine Dian Indraswari.

Aspek pencegahan mengatur jalannya edukasi pada seluruh pekerja mengenai hal-hal yang termasuk kekerasan seksual di tempat kerja.

Aspek pelaporan dan penanganan mengatur tata cara pelaporan dan penanganan kasus. Siapa yang akan menangani kasus tersebut dan berapa lama proses penanganannya harus jelas, karena beberapa kasus dibiarkan saja karena tidak ada batas waktu dari saat dibuatnya pengaduan sampai penindaklanjutan kasus.

Aspek perlindungan dijalankan dengan memberikan pendampingan untuk mengakomodasi keamanan korban. Hal ini mengingat korban kekerasan seksual menghadapi risiko keamanan, baik secara fisik maupun psikis, apalagi ketika mereka berani bicara dan pelaku adalah atasannya. Pendamping pun harus dijamin keamanannya.

Terakhir, aspek pemulihan. Lembaga, perusahaan, maupun organisasi wajib memiliki jalur yang menghubungkan korban pada tenaga profesional, seperti rumah sakit, klinik, atau yayasan psikologi.

“Wajib ada aturan turunan teknis yang mudah dipahami oleh semua orang di dalam lembaga, baik organisasi maupun perusahaan. Buat saya, turunan teknis itu juga penting karena akan sangat membantu untuk orang yang melaksanakan tugas. Jadi tidak hanya berhenti pada policy secara garis besar,” jelas Dian.

HRD harus menjadi ruang aman untuk menerima laporan kekerasan seksual

Namun, bagaimana jika aturan yang jelas belum ada, tapi kasus kekerasan seksual di tempat kerja sudah terjadi?

Bagi korban, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan bukti dan memberanikan diri untuk melaporkan kasus yang dialami. Ke mana?

CEO dan Coach HR Academy Srie Wulandari menyarankan korban untuk melapor terlebih dahulu ke dalam internal kantor, khususnya ke departemen pengembangan sumber daya manusia (HRD). Oleh sebab itu, bagian HRD wajib menjadi ruang aman bagi karyawan. Dalam menanggapi laporan, perusahaan harus bisa bersikap bijak dan netral.

“Perusahaan biasanya tidak harus memihak kepada siapa pun. Harus berdiri di tengah-tengah dan bijak menyelesaikan setiap permasalahan karyawannya. Jika ada laporan harus diinvestigasi,” jelas Wulan.

Hal ini berlaku khususnya dalam menerima keluhan, menindaklanjuti, menginvestigasi, hingga menginterogasi orang-orang yang berkaitan dengan kasus.

Senada dengan Wulan, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa bagian HRD wajib menangani persoalan, termasuk mengakomodasi keinginan korban akan proses penyelesaian yang diinginkan.

Namun, jika korban tidak merasa aman dan nyaman untuk mengadukan kasus pada HRD, maka Komnas Perempuan bisa menjadi solusi mendapatkan bantuan.

“Kami juga menangani kasus-kasus ini. Bisa dari HRD ke Komnas Perempuan, bisa juga Komnas Perempuan ke lembaga layanan lalu ke HRD. Tergantung kesiapan dan pilihan korban. Karena mungkin dia khawatir apakah kalau langsung ke HRD akan menyebabkan dia diberikan sanksi, PHK, ditegur, atau lainnya. Ada kekhawatiran seperti itu, sehingga butuh informasi atau penguatan terlebih dahulu,” tutur Ami.

Pengaduan bisa dilakukan melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan Komnas Perempuan dengan mengunduh formulir pengaduan di laman komnasperempuan.go.id, melalui telepon di 021-3903963, email ke [email protected], media sosial, atau datang langsung ke kantor Komnas Perempuan.(*)

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.